Mengawal Demokrasi Konstitusi, Melawan Korupsi
Merawat Keberagaman dalam Pilkada Sebagai wujud demokrasi lokal
Menjaga
Demokrasi Lokal :Tahun 2018-2019
adalah tahun yang penting bagi bangsa Indonesia. Bukan karena meningkatnya
proses pengkotaan di berbagai daerah, tetapi Indonesia akan menggelar pesta
demokrasi. Dua agenda besar, yakni Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu Serentak
2019 akan menjadi bagian dari sejarah demokrasi bagi bangsa ini. Karena pemilu
secara serentak belum pernah dilakukan.
Demokrasi
menjadi sistem yang digunakan oleh bangsa Indonesia untuk menentukan arah
bangsa. Tentu masyarakat sudah memahami betul konsep demokrasi yang menjadi
acuan bagi bangsa ini untuk bergerak.
Tidak mudah
untuk menerapkan goal dari sistem demokrasi dan menjadikannya sebagai sistem
yang paling ideal sehingga terlihat sempurna. Banyaknya penduduk Indonesia
dengan berbagai keragamaman bahkan menjadi tantangan tersendiri bagi kita, baik
penyelenggara KPU, peserta pemilu, pemilih atau bahkan lembaga-lembaga
pendukung lainnya seperti Bawaslu untuk melahirkan pesta demokrasi inti yang
sebenarnya.
Tujuan Pilkada Serentak adalah demokratisasi di tingkat lokal
terkait erat dengan tingkat partisipasi, dan relasi kuasa yang dibangun atas
dasar pelaksanaan azas kedaulatan rakyat. Selain itu, hasil pilkada juga harus
mampu menghantarkan masyarakat pada kondisi sosial, politik dan ekonomi yang
lebih baik (Arifulloh, 2015).
Pesta
demokrasi bahkan harus kita selenggarakan dengan baik, supaya akan lahir
pemimpin-pemimpin militan yang tidak hanya didukung secara prosedural saja, tetapi
memiliki bobot yang cukup yaitu Jujur, Adil, Bergairah, Bijaksana, Perhatian, Karismatik,
Berkomunikasi dengan baik, Gigih, Integritas, Berani, Berdisiplin untuk
mengawal bangsa Indonesia ke depannya.
Banyak
yang menilai bahwa Politik itu Kotor, Benarkah?
Masyarakat mulai
dengan Partai Politik,
Cara seperti
inilah yang sesungguhnya menjadikan biaya politik menjadi mahal. Apalagi dalam
konteks masyarakat Indonesia yang memiliki banyak keragaman budaya, ekonomi dan
tingkat pendidikan. Maka tidak heran apabila pemilu selesai dilaksanakan,
koruptor semakin menjamur di Indonesia. Selain tidak memiliki rasa cukup, dari
sisi ekonomi, pejabat negara terpilih merasa berhak untuk mengembalikan modal
awal saat ia mencalonkan diri dengan cara apapun, salah satunya korupsi.
Fenomena ini
tentu tidak bisa kita biarkan berlarut hingga menjadi karakter apalagi budaya
bangsa. Sebagai bangsa yang memilih sistem demokrasi sekaligus menjadi
masyarakat yang memiliki jiwa nasionalisme, kita memiliki peran penting untuk
mengawal dan menjaga kedaulatan bangsa.
Keputusan
memilih pemilu serentak ini sebagai upaya untuk menggeser era transisi
demokrasi menuju kearah konsolidasi demokrasi yang menekankan pada upaya untuk
meminimalasisasi praktik-praktik buruk sistem demokrasi langsung yang
transaksional, koruptif, serta memiliki kecenderungan untuk melembagakan
politik dalam dinamika sistem politik ketatanegaraan di Indonesia (Arrsa,
2014). Pengawasan kolaboratif antara pemilih, penyelenggara dan peserta perlu
dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut
Kita harus peduli dengan masalah korupsi karena: Tindakan
korupsi pada tingkatan pemerintahan suatu negara sangat merugikan karena
berpotensi meningkatnya kemiskinan di suatu negara. Selain itu, negara juga
mengalami kerugian materi yang tidak sedikit. Korupsi bersifat menguntungkan
diri sendiri, namun merugikan kepentingan umum dan Negara. Berdasarkan data
dari Transparency Indonesia, Indonesia menduduki peringkat 12 dari total 175
negara sebagai negara terkorup. Korupsi harus diberantas mulai dari
akar-akarnya yaitu kelompok yang memrintah dan penanggulangannya harus pula
melibatkan seluruh kelompok tersebut.
Menyikapi Keberagaman, Menuju Demokrasi yang
Sehat dan Dinamis
Untuk menerapkan demokrasi yang sehat kita memerlukan berbagai solusi. Dimulai dari menyikapi keberagaman etnis, sudah sewajarnya kita kembalikan pada sebuah prinsip. Bahwa hak asasi seseorang dibatasi oleh hak asasi orang lain. Demikian pula dalam menjalankan berbagai ritual etnis tertentu, jangan sampai ada diskriminasi pada etnis lainnya, terutama apabila hidup berdampingan di suatu wilayah.
Untuk menerapkan demokrasi yang sehat kita memerlukan berbagai solusi. Dimulai dari menyikapi keberagaman etnis, sudah sewajarnya kita kembalikan pada sebuah prinsip. Bahwa hak asasi seseorang dibatasi oleh hak asasi orang lain. Demikian pula dalam menjalankan berbagai ritual etnis tertentu, jangan sampai ada diskriminasi pada etnis lainnya, terutama apabila hidup berdampingan di suatu wilayah.
Mengenai etnis dan budaya, sebagai produk
manusia, tentunya masih memungkinkan untuk terjadinya asimilasi atau penerimaan
unsur budaya dari luar sehingga terciptalah budaya baru. Akulturasi budaya pun,
yang merupakan percampuran dua budaya atau lebih, juga sangat memungkinkan
terjadi. Yang penting antar etnis tersebut terjadi saling pengertian dan tidak
ada unsur pemaksaan.
Akan tetapi lain halnya dengan keberagaman
agama yang merupakan “produk langit”. Tentu saja tidak memungkinkan untuk
dicampuradukkan seperti budaya. Tiap agama mempunyai aturan dan syariatnya
sendiri yang sangat asasi. Agama, yang dalam Bahasa Sansekerta berarti
“kumpulan aturan” (Sasongko, 2005) 19.
Untuk menyikapi keberagaman beragama, yang
diperlukan tidak lain adalah teloransi atau saling menghormati antar umat
beragama. Bisa dikatakan, pada dasarnya setiap agama mengajarkan toleransi dan
menjauhi pemaksaan dalam akidah. Walaupun dalam pelaksanaannya tidaklah selalu
mulus.
Agama Islam mempunyai contoh nyata dalam
toleransi, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an Surat Al-Mumtahanah ayat 8
yang artinya: “Allah
tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu.”
Contoh toleransi yang dicontohkan umat Islam
adalah dalam perumusan Pancasila sila pertama. Dimana pada awalnya berbunyi:
“Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”, kemudian berubah menjadi teks yang sekarang yaitu
“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Faktanya, umat Islam yang sejak dulu mayoritas,
tidak serta merta memaksakan kehendak untuk mempertahankan teks yang semula
dengan kalimat syariat Islam di dalamnya. Namun memilih untuk memakai teks yang
lebih umum seperti sekarang ini.
Sementara dalam konteks kekinian, kita mengenal sosok Gus
Dur sebagai Bapak Pluralisme dan Guru Bangsa. Bagi Beliau, Indonesia
harus dibangun dengan sikap kebersamaan tanpa diskriminasi antar kelompok. Tak
heran jika di momen tahlilan wafatnya, dihadiri pula oleh sejumlah pemeluk agama
lain seperti kalangan Hindu, Buddha, Konghucu, Nasrani, hingga penganut aliran
kepercayaan Sunda Wiwitan (EIN Institute,
2010, hal. 26) .
Sementara untuk menyikapi keberagaman antar
golongan -lebih mengerucut lagi partai politik- tentunya diperlukan sikap yang
dewasa. Dengan kata lain, tiap individu harus bisa legowo menerima apapun hasil
dari pelaksanaan pesta demokrasi. Hendaknya semua pihak mampu menahan diri.
Yang menang menahan diri dari euforia yang melebihi batas kewajaran, dan pihak
yang kalah menghindari penghujatan. Apalagi di era digital seperti saat ini
dimana segala macam berita, foto, ucapan, dan sebagainya bisa menyebar dalam
hitungan detik. Sementara konsekuensi dari hal tersebut bisa dialami
berbulan-bulan bahkan hitungan tahun.
Demokrasi yang sudah menjadi pilihan bangsa
Indonesia untuk tatanan keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Untuk itu, tidak ada pilihan lagi selain demokrasi haruslah dilaksanakan dengan
penuh tanggung jawab oleh setiap warga negara. Masyarakat yang demokratis
hendaknya memenuhi ciri-ciri sebagai masyarakat yang penuh tanggung jawab,
toleran, kritis, terbuka, jujur, dan adil.
"BANGSA YANG BESAR ADALAH BANGSA YANG MENGHARGAI
JASA PARA PAHLAWANNYA". Apakah hanya dengan menghargai jasa para pahlawan
lantas kita seolah-olah menyepakati bahwa bangsa kita adalah bangsa yang besar
?, padahal kenyataan dewasa ini bahwa banyak elit bangsa ini yang berkhianat
terhadap jasa para pahlawan. Korupsi merajalela hampir di semua lembaga di
republik yang katanya BESAR ini. Tujuan para pahlawan pendiri bangsa
mengorbankan harta dan nyawa bukan hanya sekedar memerdekakan bangsa dari kaum
penjajah, namun lebih dari itu ada tujuan mulia yang diperjuangkan oleh
pahlawan pendiri bangsa ini yakni KESEJAHTERAAN dan KEADILAN SOSIAL bagi
SELURUH Rakyat Indonesia. Dan bagi saya inilah esensi dari kebesaran sebuah
bangsa yakni ADIL dan SEJAHTERA serta tidak didikte oleh bangsa manapun di
dunia ini.
Semoga Tuhan memberikan rahmat dan hidayahnya kepada Bangsa
Indonesia ini, melindungi para ulama dan habaib. Semoga Tuhan melancarkan lisan
dan membimbing kita dan menjadikan bangsa kita yang kuat dan bermartabat.
Daftar
Pustaka
Barton, Greg (2016), Biografi Gus Dur, Saufa, Yogyakarta
Institute, EIN (2010), Jejak Langkah
Guru Bangsa, SemarangReformasi, Harapan Baru Raya, Jakarta
Susanto, AB (1997), Meneladani Jejak Yesus Sebagai Pemimpin, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta
http://www.tabloiddiplomasi.org/current-issue/205-diplomasi-desember-2014/1805-indonesia-menikmati-kebebasan-beragama-dan-demokrasi.htmlhttp://matamaduranews.com/menyikapi-keberagaman-demokrasi-indonesia/
http://lembutambun.blogspot.co.id/2016/05/pancasila-dan-pluralisme-indonesia.html
Muhammad Ibnu Arrobbi, Mahasiswa Universitas
Terbuka, Fakultas Hukum Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu
Pemerintahan, UPBJJ Jember.
0 komentar Blogger 0 Facebook
Post a Comment