""Kita Belum Hidup Dalam Sinar Bulan Purnama , Kita Masih Hidup Di Masa Pancaroba , Tetaplah Bersemangat Elang Rajawali" ( Indonesia Raya - Indonesia Merdeka ) GERAKAN AKTIFIS PELAYAN MASYARAKAT (G-APKM) - Indonesia Online

TIDAK ADA LAGI MASYARAKAT YANG TERTINDAS

Siapakah Kaum Tertindas?
Dalam Islam dikenal istilah mustadh’afin ataupun sering juga digunakan istilah dhu’afa, yaitu kaum yang lemah, tidak berdaya, dan tertindas. Makna tersebut tidak berarti kaum yang tertindas hanyalah orang-orang yang secara ekonomi miskin, melainkan juga miskin atau lemah dalam aspek lain, baik itu sipil, politik, sosial, maupun budaya. Secara harfiah, makna penindasan adalah membebani dengan pemaksaan yang kejam atau tidak adil atau pengekangan, tunduk pada tugas berat atau keras dari otoritas atau kekuasaan.

Kemiskinan sendiri seringkali dibagi kedalam dua jenis, yaitu kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena adanya kebijakan yang membuat miskin, meminggirkan kelompok tertentu sehingga tidak bisa hidup sesuai standar kelayakan ataupun sesuai pilihannya. Sedangkan kemiskinan kultural dianggap sebagai kemiskinan yang terjadi karena budaya malas, tidak bekerja keras, ataupun memiliki etos kerja yang rendah. Penulis sendiri beranggapan bahwa adanya kemiskinan kultural juga disebabkan oleh pemiskinan struktural. Seseorang tidak memiliki etos kerja bisa jadi karena aksesnya terhadap pendidikan dihambat oleh suatu kebijakan.

Bagaimana Bentuk Penindasan?

Bentuk-bentuk penindasan di atas seringkali tidak berlangsung sendiri, seringkali tumpang tindih atau beririsan satu sama lain. Penindasan tersebut sering dilakukan dengan berbagai latar belakang, misalnya racism, classism, homophobia, colonialism, dan lain-lain. Latar belakang tersebut seringkali juga bukan menjadi faktor yang murni, karena keuntungan dan kekuasaanlah yang sering menjadi faktor utama dalam penindasan.

Maka dari itu, Terbentuknya Gerakan Aktivis Pelayan Kesejahteraan Masyarakat ini, untuk Melawan Penindasan
dan memperjuangkan nasib kaum tertindas, Muhammmad Ibnu Arrobbi (MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMASI), berharap agar kaum tertindas dapat berdiri sendiri, dan mampu menentukan nasibnya sendiri, baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik maupun budaya. Melalui teologi kaum tertindas, ada tiga prinsip yang akan dijadikan sebagai dasar pijakan : Pertama, doktrin tauhid. Kedua, doktrin keadilan sosial. Ketiga, doktrin pembebasan. Untuk mendukung proses transformasi, yakni penciptaan hubungan yang secara mendasar baru dan lebih adil, baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial-budaya, maupun gender, ada tiga langkah yang harus dilakukan: Pertama, membangun kesadaran kritis kaum tertindas. Kedua, melakukan advokasi kebijakan publik. Ketiga, membangun gerakan kontra-hegemonik di kalangan tertindas.

Pemberdayaan
Tanpa pemberdayaan, advokasi dapat berakibat merugikan orang-orang yang seharusnya dibela. Selain itu advokasi tanpa pemberdayaan hanya akan menimbulkan elit-elit yang akan dikultuskan dan berpotensi menjadi penindas pula. Kelompok tertindas haruslah diberdayakan dan diberikan kesadaran sehingga, menurut Roby, mereka mampu mengungkap kebutuhan mereka sendiri dan mengembangkan strategi-strategi tindak mereka sendiri untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Menurut Muhammad Ibnu Arrobbi, pemberdayaan adalah memberikan (seseorang) kewenangan atau kekuasaan untuk melakukan sesuatu atau membuat (seseorang) lebih kuat dan lebih percaya diri, terutama dalam mengendalikan hidup mereka dan mengklaim hak-hak mereka. Pemberdayaan haruslah mengarah kepada advokasi untuk perubahan yang berasal dari dan oleh kelompok tertindas itu sendiri, terutama masyarakat yang berada di wilayah Kabupaten Probolinggo karena mayoritas Pengurus DPP G APKM berdomisili di kabupaten Probolinggo.

Bicara pemberdayaan adalah bicara power, kesempatan, otonomi, dan demokratisasi. Menjadi pertanyaan besar, apakah setiap orang yang ingin membantu kelompok tertindas ingin juga melakukan pemberdayaan terhadap kelompok tertindas tersebut? Apakah mereka rela memberikan power kepada kelompok tertindas tersebut kemudian menjadi tidak begitu berperan lagi? Jika mereka pengacara, apakah mereka rela masyarakat menjadi mandiri untuk memperjuangkan kasusnya? Aktivis, pengacara, ataupun pendamping masyarakat seringkali terhanyut dalam panggung besar menjadi pahlawan kelompok tertindas dan menempatkan kelompok tertindas tersebut sebagai pemeran pembantu atau sebagai kru panggung saja.

Pemberdayaan Hukum
Salah satu bentuk pemberdayaan untuk kelompok tertindas adalah pemberdayaan hukum. Pemberdayaan Hukum adalah menguatkan kapasitas semua orang untuk memperjuangkan haknya, baik secara individu, maupun sebagai anggota dari komunitas/masyarakat. Pemberdayaan hukum adalah mengenai keadilan akar rumput (grassroot justice), hukum tidak hanya tertulis di buku atau berada di ruangan sidang, melainkan dapat diakses dan berarti untuk masyarakat biasa.

Dalam bantuan hukum struktural, pemberdayaan hukum merupakan suatu unsur penting yang tidak boleh ditinggalkan. Pemberdayaan hukum bahkan lebih penting dari sekedar gugat menggugat ataupun memenangkan suatu perkara di pengadilan. Pemberdayaan hukum harus mampu membuat kelompok tertindas menjadi mandiri untuk melakukan advokasi perubahan dan mendapatkan keadilan struktural. Karenanya pemberdayaan hukum seringkali melampaui ilmu hukum sendiri, menembus ilmu sosial, ekonomi, politik, dan ilmu lainnya.

Dalam pemberdayaan hukum, pengacara seringkali rancu perannya karena mirip dengan peran aktivis yang turun ke akar rumput. Pengacara tidak hanya melakukan kegiatan persidangan, tetapi juga melakukan pemberdayaan kepada kelompok tertindas dan bahkan hidup bersama mereka. Siapapun dapat berperan dalam pemberdayaan hukum; pengacara, aktivis, paralegal, buruh, petani, tokoh masyarakat, anak, perempuan, mahasiswa, pelajar, ustadz, pedagang, ibu rumah tangga, supir, pekerja rumah tangga, anak jalanan, pekerja seks komersil, pekerja seni, dan lain-lain.

Selain pemberdayaan hukum tersebut, tentunya terdapat bentuk pemberdayaan lain, namun perlu ditekankan bahwa setiap pemberdayaan haruslah berujung pada pemberian kekuatan dan kemandirian untuk melawan penindasan. Pemberdayaan tidak boleh menutup mata bahwa ada struktur yang timpang dan harus diubah. Kita harus memiliki keyakinan bahwa masyarakat mampu mandiri dalam memperjuangkan haknya. (Juned.ST)


Next
This is the most recent post.
Previous
Older Post

0 komentar Blogger 0 Facebook

Post a Comment

ΔΆ
Indonesia Online © Copyright 2015 - Blogger Indonesia Online . Powered by RobyWec (Aneka Hosting The New Era Blogger Based Directory)
Top