Jakarta, 30/1 (BeritaJateng.net) – Pengamat ekonomi dari Universitas
Sam Ratulangi Manado, Agus Tony Poputra menginginkan pemerintah untuk
dapat bersikap tegas terkait dengan PT Freeport, juga sekaligus untuk
meningkatkan hilirisasi pertambangan di Tanah Air.
“Perpanjangan
MoU pemerintah dengan Freeport memperlihatkan pemerintah telah
tersandera oleh kepentingan perusahaan tambang tersebut,” kata Agus Tony
Poputra dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.
Menurut
Poputra, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara secara jelas telah mengamanatkan larangan ekspor bahan
tambang mentah yang ditindaklanjuti Peraturan Menteri ESDM Nomor 20
Tahun 2013 yang efektif berlaku awal tahun 2014.
Akibatnya, ujar
dia, banyak perusahaan tambang menghentikan kegiatannya dan menjadi
dorongan bagi beberapa perusahaan telah membangun pabrik “smelter” agar
dapat mengekspor produk lanjutan.
Ia menegaskan bahwa sesungguhnya
ekspor bahan mentah sangat merugikan Indonesia. Selain kehilangan
peluang lapangan kerja tambahan, kerugian ekonomis lain juga sangat
besar.
Selain itu, lanjutnya, nilai produk sampingan dari proses
lanjutan bahan tambang banyak yang benilai tinggi, namun di sisi lain
nilai ekspor bahan mentah tambang itu sendiri umumnya rendah.
“Oleh
sebab itu, penerimaan negara lewat pajak dan royalti relatif rendah dan
negara lain menikmati nilai tambah dari proses lanjutan serta produk
sampingan,” tutur Poputra sambil menambahkan, sayangnya Freeport justru
menunda pembangunan pabrik smelter dan meminta keistimewaan melakukan
ekspor dalam bentuk konsentrat.
Di tempat terpisah, Guru Besar
Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur, Prof Dr Ahmad
Erani Yustika mengatakan, pemerintah tidak mempunyai ketegasan dalam
menghadapi PT Freeport yang ditunjukkan melalui perpanjangan kerja sama
dengan perusahaan tersebut.
“Perpanjangan kontrak kerja
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan PT Freeport
untuk durasi enam bulan ke depan seharusnya tak perlu dilakukan karena
banyak hal yang diingkari oleh perusahaan asing yang mengeksplorasi
tambang emas di Papua ini,” ujarnya di Malang, Selasa (27/1).
Guru
besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UB itu mengatakan hingga saat
ini PT Freeport belum juga membangun smelter di Papua, padahal kewajiban
itu seharusnya sudah direalisasikan sejak lima tahun lalu. Bahkan,
pembayaran royalti pun juga tidak terpenuhi dan sering mengalami
keterlambatan.
Sebagaimana diwartakan, pemerintah memahami
keinginan PT Freeport Indonesia meminta perpanjangan kontrak di wilayah
tambang Grasberg, Papua, pascahabis pada 2021.
Menteri ESDM
Sudirman Said saat rapat kerja dengan Komisi VII DPR di Jakarta, Senin
(26/1), mengatakan bahwa Freeport memandang perlu kepastian perpanjangan
kontrak atas rencana pengeluaran investasi senilai 17,3 miliar dolar
AS.
“Kami pahami Freeport yang membutuhkan kepastian karena
berencana alirkan dana sebesar 17,3 miliar dolar AS. Dana sebesar itu
tidak dialirkan kalau tidak ada kepastian berapa lama mereka masih di
sini lagi,” katanya.
Sementara itu, PT Freeport Indonesia (PTFI)
mengapresiasi keputusan pemerintah untuk memperpanjang Nota Kesepahaman
(MoU) amandemen karya selama enam bulan ke depan sejak 25 Januari 2015.
“PT
Freeport Indonesia sangat mengapresiasi apa yang diputuskan oleh
pemerintah sehingga PTFI tetap bisa meneruskan operasionalnya,” kata
Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Syamsoeddin dalam
konferensi pers di Kementerian ESDM Jakarta, Minggu (25/1).
Ia
mengatakan bahwa PTFI akan terus berupaya untuk terus memberikan manfaat
dan nilai tambah secara berkelanjutan kepada negara Indonesia, dan
masyarakat Papua pada khususnya. (ant/BJ)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar Blogger 0 Facebook
Post a Comment